Resensi Novel Gincu Sang Mumi - Tamura Toshiko

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul: Gincu Sang Mumi

Penulis: Tamura Toshiko

Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari

Penerbit: Penerbit Mai

Terbit: April 2022, cetakan pertama

Tebal: 128 hlm.

ISBN: 9786237351931


Ini buku kedua yang saya baca dari Penerbit Mai. Sebelumnya saya sudah membaca novel Kisah Hidup Gusko Budori karya Miyazawa Kenji. Jujur, untuk novel itu saya belum terkesan dengan ceritanya karena beberapa hal. Apa saja poin yang saya maksud dapat dibaca pada ulasannya ya!

Novel Gincu Sang Mumi ini membahas tentang pasangan suami istri, Yoshio dan Minoru, yang punya masalah rumah tangga karena miskin. Keuangan dalam rumah tangga ternyata membawa pengaruh besar untuk keberlangsungan, emosi, dan kebahagian mereka. 

Bisakah mereka mempertahankan rumah tangga yang miskin?



***

Ide ceritanya sederhana, soal rumah tangga yang miskin dan pengaruhnya. Dan novel ini memberi tahu soal itu. Yang paling kelihatan, kalau rumah tangga miskin pasti pasangannya sering bertengkar. Di novel ini pun sama, pasangan Yoshio dan Minoru sering meributkan hal sepele, bahkan kadang-kadang sampai Yoshio memukul Minoru hingga luka-luka. Hubungan mereka tidak lagi hangat. Lebih ke dingin, sambil menyimpan rasa kecewa di lubuk hati paling dalam.

Jadi miskin juga memalukan karena pasti akan merepotkan orang sekitar. Pasangan Yoshio dan Minoru pun merasakan itu. Ada satu kejadian Minoru harus ke pemakaman dan dia tidak punya kimono yang pantas. Akhirnya dia meminjam kepada temannya dengan menahan malu sebab itu artinya suaminya tidak bisa menafkahi dengan cukup. Minoru yang tidak ingin menyakiti perasaan suaminya harus berbohong dari siapa kimono itu dipinjam. (Jleb banget sih ini!)

Jika menjadi penulis dan tidak bisa kaya tersampaikan jelas di novel ini. Yoshio dan Minoru adalah penulis yang karyanya jarang laku. Dan mirisnya mereka menggantungkan hidup dari profesi ini. Jelas saja rumah tangga mereka terus-terusan miskin dan kekurangan. Makin bikin saya geram sama suaminya ini karena sudah tahu menulis itu jarang laku, dia tidak melakukan pekerjaan lain. Padahal bisa saja dia melakukan pekerjaan serabutan. Tapi ya begitu, dia memilih gengsi dibanding memperbaiki ekonominya.

Sekarang pun kondisi ini berlaku, kebanyakan penulis tidak akan kaya jika mengandalkan hasil penjualan karya. Makanya kebanyakan penulis saat ini menjadikan menulis sebagai hobi tetapi yang menguntungkan. Kesenangannya dapat, fee-nya dapat juga. Alhamdulillah...

Walau tokoh di sini adalah penulis, kita tidak akan menemukan bagian cerita yang membocorkan cara-cara menulis yang baik. Tapi kalau sekilas soal sayembara karya tulis bisa kita dapatkan di sini. Contohnya, dasar apa yang dipakai juri ketika menilai karya dalam sebuah sayembara. Lumayan kan untuk tambahan informasi bagi penulis yang suka ikutan sayembara menulis.



Dan ketika memahami tulisan Kak Ziggy di belakang novelnya yang menyinggung soal patriarki, saya pun setuju. Novel ini menampilkan situasi itu dengan karakter Yoshio yang tidak pernah mau mengalah kepada istrinya dan lebih mengutamakan citra dirinya. Sesalah-salahnya Yoshio, dia masih menjaga harga dirinya tinggi-tinggi sehingga kadang dia melakukan kekerasan untuk membuktikan kekuasaannya atas istrinya.

Karakter Minoru pun bukan yang baik banget sebab dia pun sebagai istri kurang bisa mengelola keuangan. Makanya ada pernyataan kalau Minoru tipikal istri yang boros. Punya uang sedikit, langsung poya-poya, membeli hal-hal yang tidak dibutuhkan. Jadi pasangan ini kayak senang memiskinkan diri sendiri.

Secara gaya bercerita, saya sudah mengatakan berkali-kali, kalau literasi jepang itu mempunyai banyak detail cerita. Penggambaran untuk hal-hal kecil pun dijabarkan dengan elok. Dan saya kurang suka dengan bagian ini sebab otak saya dipaksa membayangkannya dan itu bikin konsentrasi saya suka rusak dengan jalan cerita besarnya. Tapi saya sudah mulai mengabaikan detail-detail kecil tadi dan proses baca makin lancar.

Penerjemahan novel ini pun sangat baik. Enak dibaca dan tidak kaku. Saya sebelumnya sudah membaca hasil terjemahan Kak Asri ini di novel Diary Of A Void karya Emi Yagi.


Di tengah membaca saya sempat menduga soal judul Gincu Sang Mumi ini seperti merujuk ke dandanan Minoru ketika bergabung dengan grup teater. Tetapi bukan itu, akan dibahas di penghujung cerita dan saya masih bingung dengan maksudnya.

Kesimpulannya, saya cukup menikmati membaca novel Gincu Sang Mumi ini. Konfliknya bisa dipahami. Dan saya menangkap pesan novel ini adalah agar hati-hati mencari pasangan hidup. Cari yang baik. Kenali dengan jelas. Siapa pun tidak mau merasa terjebak dengan orang yang salah seumur hidupnya. Dan tujuan berumah tangga itu harus bahagia. 

Sekian ulasan saya untuk novel Gincu Sang Mumi karya Tamura Toshiko ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Cerita Pendek Bunga Bambu - Tsutomu Mizukami

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul: Bunga Bambu

Penulis: Tsutomu Mizukami

Penerjemah: Nurul Hanafi

Sampul: Gita Karisma

Penerbit: Kakatua

Terbit: 2024

Tebal: 24 hlm.

ISBN: -


Kali ini saya baru saja menyelesaikan membaca cerita pendek di aplikasi Baca Kakatua yang judulnya Bunga Bambu. Karena ini cerpen jadi bisa selesai baca dalam waktu singkat. Kalian juga bisa ikutan baca dan ini gratis!

Cerpen ini menceritakan tentang tokoh utama bernama Shohachi yang jadi anak angkat keluarga petani Yagoro di daerah Uchikoshi. Kampung Uchikoshi disebut Perkampungan Anak Angkat karena penduduknya kebanyakan memutuskan mengangkat anak yang dikirim dari daerah lain. Dibahas juga sejarah awal mula praktik mengangkat anak ini, yang kemudian dilakukan oleh kebanyakan keluarga di daerah tersebut.

Penulis memotret dengan apik suasana kampung Ichikoshi yang punya banyak rumpun bambu dan kebiasaan keluarga di sana mengangkat anak. Juga menyelami bagaimana kehidupan masa kecil dari sudut pandang anak angkat; keingintahuan dan kesedihannya.


Baca juga: Resensi Novel Dongeng Binatang - Gita Karisma


Kejelasan silsilah keluarga menjadi keingintahuan besar bagi anak angkat. Mereka pasti ingin tahu siapa ayah dan ibu aslinya. Dugaan-dugaan liar soal ini akan mempengaruhi psikis anak. Sho misalnya, dia kerap terusik dengan rumor yang didengarnya tentang ayahnya yang disebut-sebut seorang penjahat. Dan keingintahuan tersebut bersisa sampai dewasa, sampai kemampuan dan kesempatan untuk mencari tahu beritanya terjangkau. Tetapi apa yang dialami Sho, ia tidak menemukan kejelasan soal rumor ayahnya itu.

Dan tentang sosok ibunya, Sho pernah mempunyai pengalaman berpapasan dengan perempuan yang memegang payung sewaktu ia kanak-kanak. Mata keduanya bertemu dan saling diam. Lalu perempuan tersebut menyebut namanya dua kali. Dan peristiwa ini melahirkan kesimpulan kalau perempuan itu pasti ibu kandungnya. Namun, ketika ingin menelusuri jejak ibunya dari kasus rumor ayahnya, Sho mengalami kebuntuan.

Saya suka dengan ceritanya dan ternyata apa pun bukunya, tulisan sastra jepang itu identik dengan penceritaan yang lambat dan detail. Saya suka dengan penggambaran kampungnya yang dirimbuni pohon bambu. Bahkan saya baru tahu kalau pohon bambu itu bisa berbunga. Bisa dibayangkan kalau masuk ke kampung Uchikoshi kita akan merasakan kedamaian dari suara daun bambu yang bergemerisik bergesekan.

Nah, sekian kesan saya setelah membaca cerpen Bunga Bambu dari Penerbit Kakatua. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!




Resensi Novel Diary Of A Void - Emi Yagi

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Diary Of A Void

Penulis: Emi Yagi

Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari

Penerbit: Bentang Pustaka

Terbit: Januari 2020

Tebal: 196 hlm.

ISBN: 9786231862815


Premis Novel Diary of A Void

Shibata adalah karyawan perempuan di sebuah perusahaan yang memproduksi tabung kertas. Dan ia mulai muak dengan kebiasaan rekan kerja yang lain yang selalu mengandalkannya untuk membuatkan kopi atau teh buat tamu, membereskan ruang rapat setelah jamuan, bahkan membetulkan mesin fotocopy saat ada kertas yang macet.

Dan dengan spontan (uhuyyy!!!) terucaplah pengakuan kalau ia sedang hamil. 

Rekan kerjanya mulai membatasi mengandalkan Shibata. Atasannya pun melonggarkan waktu kerja sehingga Shibata bisa pulang pada jam normal. Sekarang, Shibata mulai bisa menikmati banyak hal setelah jam kantor. 

Tetapi kebohongan yang sudah kadung diumumkan membuat Shibata melakukan berbagai cara agar tidak terbongkar. Kebohongan itu membawa pada kebohongan lainnya.



Resensi Novel Diary of A Void

Novel ini memotret satu kejadian yang ada di tempat kerja, perlakukan karyawan pria kepada karyawan wanita dengan membebani pekerjaan tambahan layaknya seperti pembantu. Di beberapa kantor tindakan ini menjadi kebiasaan. Dan jadi beban untuk mereka yang tipe enggak enakan untuk bilang, "Maaf, saya enggak bisa."

Jika tidak segera ditangani, kejadian ini secara langsung menguatkan dan menyuburkan sistem patriarki di lingkungan kerja. Karyawan pria sebagai penguasa dan pemegang otoritas. Bukan tidak mungkin, praktik ini bisa mengurangi produktifitas karyawan perempuan dalam pekerjaannya. Dan satu kebohongan itu terucap dengan tujuan menghentikan kesewenang-wenangan.

Bermula dari kebohongan itu, tokoh utama novel ini mulai mempelajari tentang ibu hamil. Apa yang biasa dilakukan, apa yang dirasakan, dan apa yang berubah dari ibu hamil. Kita pun akan mendapatkan banyak informasi mengenai itu semua.

Salah satu yang mengejutkan saya ternyata ada senam aerobik untuk ibu hamil. Yang saya tahu aerobik itu gerakannya lincah. Apa ini tidak membahayakan janin ya? Mungkin manfaat bagus lainnya mengikuti kelas aerobik ini adalah mempertemukan beberapa ibu hamil untuk bisa berbagi pengalaman. Di sini pun disinggung masalah-masalah yang dialami oleh ibu hamil, terutama psikis, yang dipicu lingkungan atau pasangan (suami).

Sebagai novel yang diganjar penghargaan, saya justru tidak menemukan kesan mendalam pada ceritanya. Karena menurut saya fokus penulis justru lebih banyak memberi tahu soal pengalaman ibu hamil daripada mengulik bagaimana menegangkannya menyembunyikan kebohongan soal kehamilan.

Bagi beberapa pembaca, bisa saja ini novel yang membosankan. Konfliknya bukan yang meledak-ledak dan membuat penasaran dengan endingnya, ditambah gaya penulisannya yang lebih banyak narasi. Tipikal sastra jepang, penulis terlalu banyak memasukkan detail dan pembaca seperti diuji untuk memproyeksikannya, haha.



Fokus cerita dominan mengikuti tokoh Shibata yang introvert, enggak enakan, dan selalu melihat sesuatu dari sisi positif. Karakter yang tergolong baik, tapi jika terlalu polos justru akan menyusahkan diri sendiri. Ada karakter pria rekan kerja Shibata bernama Higashinakano yang menyita perhatian. Awalnya saya kira perhatian dia karena didorong rasa suka, tetapi ternyata itu dilakukan karena dia punya pengalaman susahnya mempunyai anak. Cerita mengharukan buat saya.

Ada juga karakter Hosono, teman Shibata di kelas aerobik, yang dalam percakapan curhat mereka pada tengah malam, membeberkan tentang susahnya mengasuh bayi sekaligus mengurus pekerjaan rumah. Hosono marah dengan keadaan karena suami pun belum bisa ikut membantu dalam dua hal tadi. 


"Sementara suamiku? Apaan-apaan? Kalau Yuri menangis malam-malam, suamiku bakal kesal dan mengeluh, besok dia harus bangun pagi, lah. Enggak, masih bagus kalau dia benar-benar kesal. Dia itu ya, bersikap kesal sambil merasa dia selalu sabar dan enggak pernah kesal. Betul-betul menyebalkan. Padahal kelihatan jelas dia kesal, tapi sikapnya kayak mau bilang, 'Aku sabar, lho. Aku pengertian, lho.' Kalau betul-betul pengertian, kenapa enggak melakukan apa-apa setiap akhir pekan?..." (hal. 157 - 158)


Jadi novel ini tidak punya cerita romansa sama sekali ya, huft!

Setelah membaca novel ini, saya semakin tahu kalau jadi perempuan hamil itu tidak mudah. Selain membuat fisik kepayahan, kestabilan emosi mereka juga diguncang. Memang sudah semestinya memperlakukan mereka dengan penuh pengertian. Selain untuk menjaga kesehatan ibu hamil, untuk menjaga kesehatan janin juga.

Sekian ulasan saya untuk novel Diary of A Void. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

Resensi Novel Kokokan Mencari Arumbawangi - Cyntha Hariadi

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Kokokan Mencari Arumbawangi

Penulis: Cyntha Hariadi

Editor: Mirna Yulistianti

Sampul: Roy Wisnu

Ilustrasi: Rassi Narika

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juli 2020, cetakan pertama

Tebal: x + 338 hlm.

ISBN: 9786020640259


Gara-gara punya anak laki-laki yang cengeng, Nanamama jadi pengen punya anak lagi buat jadi adik Kakaputu. Tapi sayangnya Nanamama sudah enggak bersuami. Tapi harapannya terkabul berkat burung Kokokan yang singgah di desa dan meletakkan seorang anak perempuan di kebun bawang. Anak perempuan ini kemudian diberi nama Arumbawangi.

Karena datang bukan dari rahim melainkan dibawa oleh burung Kokokan, Arumbawangi sering dianggap petaka dan kutukan oleh warga desa. Bahkan sempat ada ide agar Arumbawangi dikeluarkan dari desa. Namun karena Kakaputu sudah sayang, Nanamama memutuskan keukeuh membesarkannya. Warga pun makin tidak suka dengan keluarga Nanamama, apalagi dulu Nanamama pernah menolak menjual tanahnya kepada pengusaha hotel.

Hotel yang dulu terbengkalai kini kedatangan pemilik baru bernama Pak Rudi. Beliau ternyata membawa anak laki-lakinya, Jojo, yang kerap marah-marah dan berteriak-teriak. Ada penyebabnya kenapa Jojo bisa bersikap menyebalkan begitu. 

Pertemuan Jojo dengan Kakaputu dan Arumbawangi membuat kehidupan Jojo berubah. Dia belajar banyak hal dan menemukan kebahagian lagi. Namun tragedi kebakaran di hotel itu tidak bisa dicegah hingga merenggut nyawa. Seluruh warga desa menuduh Nanamama sebagai penyebabnya dan membuat Nanama merasa dikhianati oleh seluruh warga hingga ia jatuh sakit dan meregang nyawa.

Kakaputu dan Arumbawangi harus terus melanjutkan hidup. Tetapi nasib pilu yang mendera makin terasa berat dilalui tanpa keberadaan Nanamama. Bukan apa-apa, orang terdekat mereka yang kelihatan berubah jadi baik ternyata memiliki maksud terselubung.

Bisakah Kakaputu dan Arumbawangi mempertahankan tanah mereka sesuai pesan Nanamama?

***


Ceritanya bagus banget dan karena ini sebuah dongeng jadi kita akan menemukan cerita yang ajaib. Bakal susah dibayangkan bagaimana burung bisa membawa anak kecil, saya tidak tahu segede apa burungnya, hehe. Dan keajaiban ini mengingatkan saya pada cerita di film Baby Boss, adiknya Tim yang bayi itu, diantarkan oleh burung dan diletakan di depan pintu si pemesan.

Karena tokoh utamanya berusia anak-anak, novel ini mungkin masuk ke genre buku anak, dan yang membuatnya berbeda dengan buku anak lainnya, di sini kisahnya mengandung kegetiran, kesedihan, dan perjuangan berat yang dialami dua anak kecil setelah ibunya meninggal. 

Tema kehilangan dibahas berkali-kali melalui beberapa tokoh. Kakaputu dan Arumbawangi kehilangan Nanamama. Jojo kehilangan ibunya. Pak Rudi kehilangan Jojo. Semua drama ini sangat menyentuh hati.

Novel ini juga membawa isu lingkungan menjadi topik dan konflik utama. Terutama menyoroti soal ambisi merubah area hijau seperti hutan, sawah atau kebun menjadi deretan gedung megah oleh pengusaha. Tentu saja kegiatan ini akan membawa kerusakan bagi lingkungan dan habitat di sekitarnya. 

Secara garis besar, novel ini menampilkan perlawanan keluarga kecil melawan ketamakan pengusaha dan masyarakat sekitar. Menyaksikan bagaimana Nanamama menentang keras soal pembangunan hotel di desanya, membuat kita melek kalau perjuangan menjadi minoritas yang benar di tengah mayoritas yang salah ternyata bikin membatin, padahal yang dipertahankan adalah tanah sendiri.

Saya yang sangat suka cerita dengan latar pedesaan, sangat menikmati membaca novel ini. Lokasi cerita ini ada di Bali, dimana di sana ada satu daerah yang sawah teraseringnya diakui UNESCO. Penulis berhasil menggambarkan situasi pedesaan dan aktifitasnya dengan sangat nyata. Soal sawah yang padinya menguning dan kerap disantroni burung-burung, atau bagaimana keriangan anak-anak main lumpur saat tanah sawah masih digenangi air.




Tokoh-tokoh di novel ini pun begitu hidup. Nanamama dan anak-anaknya menjadi protagonis yang mengesankan. Dan saya masih terkesan dengan sifat-sifat mereka walaupun sudah selesai membaca novelnya. Karakter mereka khas keluarga sederhana dari pedesaan. Di sini juga ada karakter antagonis yang menyebalkan yaitu Wawatua yang mengincar tanah Nanamama dengan lebih dulu ingin jadi wali Kakaputu dan Arumbawangi. Walau pun yang diincarnya bukan harta untuk diri sendiri, tetapi cara dia memprovokasi warga dan kelicikannya benar-benar jahat.              

Nilai-nilai moral dalam novel ini pun sangat menggugah. Kita seperti diingatkan kembali soal hidup dalam kesederhanaan dan paham arti cukup. Nanamama sering mengatakan kalau tanah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kita jika dirawat dan dijaga dengan baik, makanya dia tidak silau mata oleh tawaran yang mau membeli tanahnya. Dan ketika beliau tiada, Nanamama ternyata memiliki simpanan dan tabungan untuk kedua anaknya. Berkat mempraktikan arti cukup, kita pasti bisa menabung untuk pegangan ketika situasi buruk terjadi tiba-tiba.

Kesimpulannya, novel ini punya cerita yang bakal menghanyutkan pembaca dengan unsur kehidupan pedesaan dan konfliknya. Sajian yang sederhana tapi bernilai mahal.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


Resensi Novel Festival Hujan - Nurunala


Judul:
Festival Hujan

Penulis: Nurunala

Editor: Trian Lesmana

Sampul: Withly

Penerbit: Grasindo

Terbit: Desember 2023

Tebal: 200 hlm.

ISBN: 9786020530482


Setelah dua tahun berpacaran, Tahta memutuskan hubungan dengan Rania tanpa penjelasan yang tuntas. Di tengah Rania meratapi nasibnya, kemunculan pemuda yang mengontrak ruko di depan rumahnya menjadi momen untuk move on

Tama, pemuda tadi, membuka Tokko Bukku dan berkatnya Rania mulai suka membaca novel. Tama juga pendengar yang baik, dan kedekatan mereka memunculkan harapan baru yang perlahan memupus kesedihan sebelumnya. Tetapi, selama ini hanya Rania yang lebih banyak bercerita, dan ia pun sadar tidak mengenal Tama sebaik yang seharusnya.

***

Nurunala menjadi nama penulis yang cukup berkesan buat saya setelah membaca novel sebelumnya berjudul Seribu Wajah Ayah. Mau tak mau ekspektasi itu melekat juga waktu saya membaca novel ini.

Novel ini memiliki tema percintaan yang membahas soal konflik patah hati dan proses move on. Ceritanya akan sangat relate dengan anak muda yang masih kuliah. Penulis menggambarkan fase-fase yang terjadi selama seminggu setelah putus. Dan kalau menilik apa yang dialami Rania, saran yang menyebutkan kalau mau melupakan mantan harus punya pacar baru, ada benarnya juga. 

Inti sebenarnya dari saran tadi adalah bagaimana cara kita mengalihkan pikiran dari mengingat mantan. Dan jalannya yaitu dengan melakukan banyak aktifitas agar kita tidak terjebak di momen melamun. Keberadaan sahabat di saat patah hati juga bisa sangat membantu proses move on. Kalau tidak ada yang memaksa untuk bangkit, orang yang patah hati akan lebih senang meratapi nasibnya di kamar dan tangan sahabat bisa berperan untuk itu.



Di sini juga kita akan mendapatkan konflik keluarga terutama soal perceraian orang tua dan apa efeknya bagi anak. Alasan yang bikin orang tua Rania pisah itu umum banget, tak lain soal ekonomi. Makanya di tengah masyarakat sudah bukan rahasia lagi kalau soal ekonomi jadi penyebab utama kenapa pasangan bisa memutuskan cerai. 

Yang kadang luput dari keputusan cerai adalah efek yang timbul bagi anak. Meski seorang anak kelihatan bisa menerima keputusan cerai orang tuanya, bukan berarti ia tidak terluka. Bahkan ketika sudah agak dewasaan, si anak akan mencari sendiri siapa yang salah hingga orang tuanya pisah. Karena itu, ketika melakukan perceraian, orang tua harus bisa menyampaikan dengan bijak alasan yang membuat mereka pisah agar si anak tidak membatin.

Pemilihan judul mengandung kata 'hujan' membuat kita akan menduga kalau kisah di novel ini bakal sendu banget. Dan saya setuju dengan dugaan itu, konflik di novel ini berpotensi menguras air mata. Tetapi, saya tidak mendapatkan rasa sedih itu seperti ketika membaca novel Seribu Wajah Ayah. Dugaan saya karena penulis memilih menggali emosi lebih banyak di konflik putus cinta dan bukan menggali emosi soal apa yang dirasakan orang tua ketika anaknya putus cinta. Inti cerita begini sudah banyak dipakai penulis lain jadi kita sudah hafal kalau alurnya ya soal berjuang agar bisa move on. Dan untuk pembaca itu bukan sesuatu yang mengesankan lagi.

Soal pandemi pun tidak digambarkan sebagai sesuatu yang mencekam padahal ini bisa jadi penambah kesenduan bagi Rania. Dan saya merasa kalau situasi pandemi ini hanya sisipan semata, bukan situasi yang bisa diolah terutama soal kesuntukan masyarakat menghadapi ketidakpastian dengan musibah.

Sedikit menyenangkan saya ketika unsur literasi dipakai pada ceritanya. Selain ada toko buku, penulis juga menyebutkan beberapa judul novel dan kata-kata bagus di dalamnya. Disayangkan karena penulis memilih novel yang sudah terkenal seperti novel Haruki Murakami, Dee dan Tere Liye, dan bagi saya yang sudah membacanya tidak cukup terkesan dengan yang ditemukan Tama dan Rania. 

Akan lebih menarik kalau penulis memilih novel yang tidak begitu terkenal tapi bisa dilihat sisi bagusnya sesuai penilaian Tama. Pasti akan membuat pembaca novel ini berburu novel yang disebutkan, sebagai pembuktian apa iya novelnya sebagus itu.

Untuk karakter di sini, saya tidak bisa memilih yang paling disukai. Tadinya saya mau memilih Rania dan Biah, tapi setelah membaca bagian mereka bertengkar gara-gara Tama, saya memutuskan tidak mau. Momen itu aneh sih, saya merasanya pertengkaran mereka terjadi dengan tiba-tiba dan diselesaikan dengan cepat pula. 

Karakter Tama pun yang awalnya baik sekali harus dihancurkan dengan kenyataan yang ia sembunyikan. Bahkan cara dia berpikir soal hubungannya dengan Rania, tak lain seperti bajingan karena tidak tegas dan tidak mau rugi.

Secara keseluruhan, novel Festival Hujan ini bisa jadi bacaan yang bagus pas hujan sedang turun. Dan mungkin bakal cukup mengaduk-aduk emosi untuk pembaca yang belum baca novel Seribu Wajah Ayah. 

Sekian ulasan saya kali ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Watersong - Clarissa Goenawan

Dahulu kala, ketika masih kecil, dia bermimpi tenggelam (kalimat pertama novel Watersong; 5)


Judul:
Watersong

Penulis: Clarissa Goenawan

Penerjemah: Lulu Fitri Rahman

Sampul: Sukutangan

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2022

Tebal: 392 hlm.

ISBN: 9786020664972

RINGKASAN

Shouji memutuskan ikut pindah dengan kekasihnya, Youko Sasaki, dari Tokyo ke Akakawa. Dia yang belum bekerja akhirnya menerima tawaran dari Youko untuk bekerja di tempat kerja yang sama, sebuah kedai teh mewah, sebagai pendengar bagi klien yang memilihnya. Ini jenis pekerjaan yang menuntut kerahasiaan, apa yang diucapkan klien tidak boleh sampai diceritakan ke orang lain.

Mizuki sebagai klien pertama Shouji yang merupakan korban kekerasan suaminya, mendorong niat baiknya untuk menolong. Kemunculan Tooru Odagiri yang mengaku sebagai reporter justru membuat Shouji diincar untuk dihabisi.

Merasa nyawanya terancam, hampir ditabrak mobil misterius dan apartemennya tiba-tiba kebakaran, Shouji melarikan diri kembali ke Tokyo, meninggalkan Youko. Sejak itu pasangan ini terpisah dan Shouji diteror untuk melupakan Youko dibandingkan dengan resiko kematian jika ia terus mencarinya.

Sepanjang pelarian itu Shouji bertemu dengan beberapa orang dari masa lalu, seperti Liyun, Eri, dan Yoshioka. Ada rahasia yang terungkap, ada kisah penghubung yang akhirnya diketahui, dan ada masa lalu yang harusnya dimaafkan.

Berhasilkah Shouji menemukan kekasihnya lagi?

Kemudian, bagaimana dengan keselamatan nyawanya?

ULASAN

Saya suka dengan cerita di novel ini karena menggabungkan cerita romansa dengan cerita misteri thriller. Di samping kita mengikuti perkembangan hubungan Shouji dan Youko yang terpisah, kita juga dibuat penasaran dengan ujung nasib teror pembunuhan yang menimpa keduanya.

Shouji pernah diramal waktu kecil dan dikatakan kalau ia akan bertemu dengan tiga perempuan yang memiliki unsur air dalam namanya. Salah satunya mungkin akan jadi belahan jiwa namun jika tidak hati-hati, Shouji atau salah satu dari ketiga perempuan tersebut akan mengalami kematian. Kita akan menebak-nebak kira-kira siapa saja perempuan itu dan ada cerita romansa apa antara Shouji dan ketiganya. Ini juga bagian yang menarik diikuti.

Novel ini juga membahas soal konflik keluarga antara anak dan orang tua. Shouji kurang rasa hormat kepada ayahnya karena trauma kekerasan yang dia alami. Dia juga menyalahkan ibunya karena waktu kekerasan itu terjadi, dia tidak dilindungi dan justru dia diminta berbohong kepada orang lain atas luka-luka yang ada di tubuhnya. Peristiwa ini ternyata membekas sampai dewasa dan jadi rahasia yang dia pendam. Bagian ini jadi pelajaran penting untuk orang tua dalam mengasuh dan membesarkan anak.

Selain itu, kita juga akan diajarkan untuk memaafkan masa lalu, baik berupa kemarahan, penyesalan, dan kesedihan. Hampir tokoh-tokoh yang muncul di novel ini mempunyai masa lalu yang kelam dan itu jadi luka batin sampai dewasa. Kebanyakan orang akan memendamnya, segan untuk membicarakannya, padahal dengan membicarakannya bersama orang yang tepat itu bisa menjadi proses awal penyembuhan. Tidak enak lho menyimpan perasaan negatif dalam dada.

Sepanjang membaca novel ini emosi saya seperti diaduk-aduk karena masalah setiap tokohnya kebanyakan tragis dan memilukan. Masalah yang ditampilkan di sini pasti pernah dialami oleh kita atau orang terdekat kita. Jadi ceritanya terasa dekat sekali dengan pengalaman kita sebagai pembaca.

Tokoh-tokoh di sini juga begitu hidup dan menonjol. Mudah sekali untuk dibedakan dan kita tidak akan bingung atau kesulitan untuk mengingatnya saat proses membaca. Gaya bercerita pun menunjang kesan baik saya untuk novel ini karena penulis membuat diksinya terasa tenang, lembut, teratur, lengkap dan sarat rasa. Ini juga yang dulu saya rasakan ketika membaca novel debutnya, Rainbirds.

Kejutan yang menarik di sini yaitu peran tokoh-tokoh yang ada ternyata berhubungan dengan kedua tokoh utama, Shouji dan Youiko. Padahal saat awal-awal kayak hanya sebagai peran tambahan, eh ternyata mereka bagian penting di masa lalu. Enggak kepikiran lho!


  • Setiap orang memiliki bagian dari diri mereka yang sengaja mereka tutupi dari orang lain (hal. 51)
  • Kita tidak bisa kehilangan sesuatu yang sejak awal tak pernah dimiliki (hal. 53-54)
  • Banyak hal yang kita anggap remeh, sampai hal itu direnggut dari kita, meninggalkan lubang menganga (hal. 61)
  • Bakat itu hanya kerja keras dan kepercayaan diri (hal. 64)
  • Tak akan ada yang berubah jika semua orang terus menutup mata (hal. 90)
  • Orang yang bilang dirinya tidak kesepian biasanya yang paling kesepian (hal. 196)
  • Kalau ingin berubah, itu harus karena diriku sendiri (hal. 234)
  • Kau harus bisa mencintai diri sendiri dan berkembang lebih dulu sebelum mencintai orang lain (hal. 241)


Kesimpulannya, novel Watersong ini mempunyai cerita yang seru, pilu, dan mengajak pembaca untuk merenung soal kebahagiaan. Disampaikan dengan cara baik dan menghanyutkan. Saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang suka dengan literasi Jepang dan berisi cerita soal psikologi manusia terutama yang membahas tentang emosi manusia.

Balon itu terbang semakin lama semakin tinggi, lenyap ditelan langit biru (kalimat terakhir novel Watersong, 390)

Sekian ulasan saya untuk novel ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Dongeng Binatang - Gita Karisma

Apolo menghampiri mereka, berkenalan satu demi satu (kalimat terakhir novel Dongeng Binatang)



Judul:
Dongeng Binatang

Penulis: Gita Karisma

Penerbit: Kakatua

Terbit: Februari 2019

Tebal: 176 hlm.

ISBN: 9786027328402


PREMIS

Di sebuah kandang kaca pada satu kebun binatang terdoktrin jika tikus-tikus terpilih yang diangkut oleh Penjaga akan dibawa ke Taman Surga. Di sana mereka akan bahagia dilimpahi gunung keju, sungai susu, dan hamparan kacang. Mereka dan kawanannya juga memuja kebaikan manusia yang sudah merawat dan memberi makan selama ini.

Dua tikus bernama Apolo dan Ganesa mendapatkan giliran dibawa Penjaga bersama tikus-tikus lainnya. Harapan mereka untuk sampai ke Taman Surga tidak semulus yang dibayangkan. Mereka sadar kalau tempat luas berisi kandang-kandang itu adalah Kebun Binatang. 

Apolo dan Ganesa dimasukan ke kandang Katak. Mereka masih belum sadar betul jika mereka adalah pakan untuk si Katak. Setelah menyaksikan salah satu tikus yang dilahap si Katak, Apolo cepat menyadari situasi meski masih ragu-ragu, melancarkan ide agar ia dan Ganesa bisa lolos dari kandang Katak.

Rencananya berhasil tetapi si Penjaga membawa mereka ke kandang pemangsa baru yaitu Ular. Kali ini giliran Ganesa yang mengakali si Ular dengan cerita sedih dan membuatnya melakukan tindakan yang mematikan. 

Lolosnya Apolo dan Ganesa dari dua pemangsa membuat si Penjaga curiga. Diputuskanlah mereka dibawa ke pemangsa yang lebih sadis yaitu Elang. 

Bagaimanakah nasib Apolo dan Ganesa selama di kebun binatang? 

Berhasilkah mereka menemukan Taman Surga yang selama ini dicarinya?



IDE CERITA

Karena buku ini menggunakan hewan sebagai tokoh utama, saya jadi ingat dengan buku Animal Farm yang ditulis George Orwell. Kesamaan lainnya kedua buku ini membahas pemberontakan para hewan dengan kesewenang-wenangan manusia yang mengeksploitasi hewan.

Tetapi menurut saya buku ini lebih seru karena penulis menggabungkan cerita hewan dengan cerita petualangan. Dua tokoh utamanya adalah tikus muda yang terlalu lama tinggal di kandang pemeliharaan sehingga keduanya tidak tahu apa pun di dunia luar. Makanya ketika mereka disajikan sebagai pakan untuk hewan lain, ada ekspresi takjub, terutama bagi Apolo yang tipikal hewan banyak tanya dan penasaran dengan segala hal.

Sepanjang perjalanan mencari Taman Surga, kedua tikus ini bertemu hewan lain yang membawa pengetahuan baru. Ada Kecoa, Nyamuk, Katak, Ular, Elang, Burung Gagak, Semut, Anjing, Kucing, Kuda, Keledai, Ayam, Sapi, dan masih ada beberapa lainnya. 

Melalui percakapan antara dua tikus dan hewan lain yang ditemui, banyak sekali sindiran yang ditujukan untuk manusia. Dari sudut pandang hewan, manusia dinilai sebagai mahluk jahat sebab memperlakukan hewan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka, tanpa memikirkan kebutuhan dan keinginan hewan.

Banyak aksi heroik yang dilakukan kedua tikus untuk mengakali manusia dan menyelamatkan hewan lain. Terutama ketika Apolo berada di Peternakan, terasa sekali perannya sebagai pahlawan bagi ayam, sapi, dan domba.

Saya juga sangat terhibur ketika dua tikus menunggangi Elang melakukan perjalanan panjang. Dan saya turut sedih ketika Apolo dan Ganesa terpisah karena jatuh sewaktu terbang bersama Elang. 

INTRINSIK

Keseluruhan alur dalam kisah Apolo dan Ganesa ini menggunakan alur maju. Kalau pun ada bagian yang membahas masa lalu, itu hanya penggalan cerita yang dituturkan hewan, tentang nasib mereka hingga berada di posisi saat ini. Kebanyakan memang hewan-hewan lain yang menceritakan kisahnya kepada si dua tikus.

Gaya bahasa penulis cukup rapi dan sederhana. Saya sangat menikmati diksi yang disusun, mengingat ini ceritanya tentang hewan, kalimat yang disusun tentu saja tidak boleh gegabah menyamakan dengan menceritakan tokoh manusia. Bahkan porsi pengetahuan para hewan sudah pas sesuai kecerdasan mereka, penulis mengakali dengan menggali kebiasaan hewan pada umumnya.

Apolo dan Ganesa yang jadi tokoh utama sebagai tikus memiliki karakter yang berlainan. Apolo adalah tikus yang serba penasaran dan banyak bertanya. Dan menurut saya dia tergolong tikus yang cerdas, cepat memahami situasi yang dihadapi, dan cukup berani mengambil resiko pada keputusan-keputusannya. Sedangkan Ganesa terkesan tikus yang tidak ambil pusing, jarang memikirkan secara mendalam, dan jujur saja perannya tidak sebanyak Apolo di cerita ini. Apalagi sewaktu mereka terpisah, tidak ada kelanjutan cerita Ganesa dan petulangannya, dan kisah utamanya hanya dari petualangan Apolo.

Setelah kelar membaca buku ini saya menangkap pesan kalau hewan itu tercipta dengan peran dan fungsinya masing-masing. Rasanya tidak ada hewan yang ada tapi sia-sia. Selain itu, saya juga membenarkan kalau manusia itu rumit, egonya tinggi, dan jarang yang menilai hewan dengan objektif. Mungkin beberapa manusia bisa dibilang serakah dan dibutakan nafsu duniawi sehingga bagi mereka hewan itu salah satu alat pemenuhan semata.

Saya juga rasanya kesal ketika membaca bagian kucing yang menilai manusia sebagai penyebab utama kenapa beberapa kucing kehilangan insting naluri hewannya. Kucing peliharaan kebanyakan kehilangan kemampuan memburu mangsa karena terlalu diberikan kemudahan oleh manusia. Manusia dengan arogan merubah tabiat hewan karena ego. Kejam banget nggak sih?

Kesimpulannya, saya suka dengan buku ini karena selain berisi kisah petualangan hewan, juga memiliki banyak sindiran untuk pembacanya, yang pasti adalah manusia, hahaha. Pokoknya buku ini sangat menghibur.

Oya, saya membaca novel ini melalui aplikasi Baca Kakatua. Kebetulan ebook ini sedang gratis untuk dibaca jadi kesempatan ini enggak boleh dilewatkan. Buku-buku lain harganya lumayan terjangkau. Dan aplikasi bacanya juga nyaman. Pengalaman yang menyenangkan sih ini.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Heaven - Mieko Kawakami

Itu sekadar keindahan belaka, yang tak bisa kusampaikan kepada siapa pun, yang tak bisa diketahui oleh siapa pun (kalimat terakhir Novel Heaven; 232)


Judul:
Heaven

Penulis: Mieko Kawakami

Penerjemah: Ribeka Ota

Sampul: Ellen Halim

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia | KPG

Terbit: Desember 2023

Tebal: v + 232 hlm.

ISBN: 9786231341181


Perasaan saya sama, sama-sama marah, ketika menonton film atau membaca cerita yang ada unsur perundungan. Mungkin ini terjadi karena saya pernah di posisi korban pada jaman sekolah dulu. 

Memikirkan soal perundungan, selain pelaku salah, saya juga sering menyalahkan korban yang tidak berbuat apa-apa. Pikiran ini muncul saat saya sudah dewasa. Menyayangkan sekali dulu kenapa saya tidak berbuat apa-apa, saya penakut, saya pecundang, padahal saya yakin kalau pelaku perundungan dilawan, ceritanya akan berbeda. Itulah kenapa ketika keponakan saya pindah sekolah, saya selalu tanya apakah ada yang melakukan perundungan, dan jika ada, saya minta dia bawa pisau ke sekolah dan boleh menusuknya.

Barbar banget!

Karena saya tahu semua orang akan tutup mata dan telinga sebelum kasusnya menjadi parah. Jadi bukan hanya pelaku yang perlu digertak, orang sekitar pun perlu dikejutkan kalau perundungan bukan masalah sepele seperti anak-anak becandaan. 

Dan membaca tokoh utama di novel Heaven ini yang mengalami perundungan parah, saya pun ikut geram. Si aku, murid laki-laki, ini baru kelas dua SMP, dan dia memiliki kekurangan, matanya juling. Selama ini ia mengira kalau gara-gara matanya yang juling, dia jadi korban bully.

Si aku tidak sendirian jadi korban, ada murid perempuan yang sekelas dengannya, bernama Kojima yang bernasib sama. Melalui surat menyurat mereka memutuskan menjadi sekutu karena persamaan nasib. Mereka melakukan pertemuan diam-diam untuk saling kenal. Dengan saling balas surat mereka merasa menjadi normal di tengah perundungan yang mereka alami di sekolah.

Pertemuan dan surat membawa keduanya pada diskusi mendalam soal apa yang mereka alami. Keduanya mulai saling mengenal latar belakang keluarga. Keduanya kerap membahas makna hidup karena menjadi korban.

Saya sudah berharap kalau kedua korban ini akan membalik keadaan dengan melawan Ninomiya dan gengnya. Tetapi itu tidak terjadi. Perundungan parah yang dialami si aku membuatnya kerap berpikir untuk bunuh diri.

Lalu, sampai kapan keduanya jadi korban perundungan? 

Saya benci dengan karakter Kojima yang meromantisasi menjadi korban. Dia selalu berpikir kalau jadi korban pun akan ada makna hidupnya. TOLOL! Yang ada kalian tambah rusak selama menerima terus perundungan itu. Ketidaksukaan saya bertambah saat dia mengajak si aku untuk melakukan hal yang sama.

Isu perundungan sangat kental dibahas di novel ini. Bentuk perundungannya pun parah; disuruh membawa barang-barang Ninomiya, ditendang, dipukul pakai seruling, disuruh berlari, pernah dipaksa makan atau minum air kolam, air kakus, ikan mas, sisa-sisa sayur di kandang kelinci, disuruh makan kapur tulis, kepalanya dijadikan bola sepak, dan terakhir ditelanjangi agar melakukan hubungan seks sambil ditonton. Bagaimana enggak marah membaca bentuk perundungan begini?

Dan dari novel ini saya pun jadi tahu kalau kondisi keluarga sangat berpengaruh terhadap korban perundungan. Baik si aku dan Kojima ternyata berasal dari keluarga yang tercerai berai. Buat mereka susah menemukan pegangan ketika perundungan di sekolah membuat hidup mereka limbung, sehingga mereka bingung meminta tolong kepada siapa. Yang ada mereka memendamnya dan mengatakan kalau di sekolah mereka baik-baik saja.

Dialog antara si aku dan Momose cukup deep membahas antara perasaan korban dan pelaku. Korban akan menyalahkan pelaku karena melakukan perbuatan perundungan, dan pelaku akan menyalahkan korban karena mau saja dirundung. Jadi karena inilah saya sesekali menyalahkan korban juga. Di otak saya, para korban ini bisa minta tolong kepada keluarga atau siapa pun. Bisa melakukan perlawanan, bisa menarik perhatian kalau dia itu korban dan butuh ditolong.

"Artinya," sembari terkikik Momose melihatku, "sebenarnya tidak harus kau. Bisa siapa pun. Kebetulan kau di situ dan kebetulan suasan hati kami begitu. Dan kebetulan kedua hal itu punya titik temu. Itu saja." (hal. 156)

Sesederhana itu pelaku melakukan perundungan hanya karena kebetulan ketemu titik temu. Semacam iseng yang akhirnya dinikmati dan berkelanjutan. Dan lantas si korban akan mulai mencari pembenaran kekurangan dia kenapa jadi korban dan meratapi tanpa melakukan apa pun.

Huh... menulis ulasan ini pun berat karena membahas perundungan.

Penulis mencoba menyajikan tema yang sensitif dan ada di sekitar kita, dan itu berhasil. Kisah di novel ini tidak manis tapi patut dibaca agar kita paham ada dinamika apa sih dalam kasus perundungan. Puncak ceritanya bikin saya pengen tepuk tangan. Adegan epik yang dilakukan Kojima bener-bener di luar nalar. Dan sayangnya si aku tidak melakukan apa pun. Huft!

Membaca novel ini pun agak tersendat-sendat karena memang pembahasannya yang berat. Jadi sabar saja membacanya sambil menikmati sensasi yang timbul. 

Sampul novel ini simple banget. Ada gambar pesawat kertas untuk menunjukkan surat menyurat. Ada gambar mata juling juga sesuai tanda yang dipunyai tokoh utamanya. Lalu, pemilihan judul Heaven ini sebenarnya menunjuk ke sebuah lukisan di museum seni rupa, yang sayangnya tidak sempat dilihat oleh si aku sewaktu di sana.

Kesimpulannya, novel ini agak menguras emosi namun patut dibaca jika ingin tahu soal isi pikiran pelaku dan korban perundungan. Namun, saya kayaknya enggak akan baca ulang sebab agak mengusik hati ceritanya, haha.

Nah, sekian ulasan saya kali ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!